Wednesday, November 19, 2008

Satu Bintang di Langit Kelam


Angkasa tanpa pesan merengkuh semakin dalam
Berselimut debu waktu kumenanti cemas

Kau datang dengan sederhana
Satu bintang di langit kelam
Sinarmu rimba pesona dan kutahu tlah tersesat

Kukejar kau takkan bertepi
Menggapaimu takkan bersambut
Sendiri membendung rasa ini
Sementara kau membeku

Khayalku terbuai jauh
Pelita kecilmu mengalir pelan dan aku terbenam
Redup kilaumu tak mengarah
Jadilah diriku selatan

Namun tak kau sadari hingga kini dan nanti

- RSD -


Berdamai dengan kenyataan..

Soe Hok Gie adalah tokoh muda penulis buku "Catatan Seorang Demonstran". Ia meninggal dunia dalam usia 27th d puncak gunung Semeru. Riwayat hidupnya pernah dibukukan & difilmkan. Dalam puisinya berjudul "Mandalawangi Pangrango",ia menulis: "Hidup adl soal keberanian,menghadapi tanda tanya tanpa kita mengerti,tanpa kita bisa menawar,terimalah & hadapilah."

Ya,dalam hidup ini kerap kita tidak dapat memilih. Seumpama makanan,seolah semuanya sdh disediakan dr sononya. Kita hanya bisa 'makan' tanpa protes. Kita,misalnya,tdk pernah memilih utk terbaring sakit,melahirkan anak dgn kebutuhan khusus,menjalani kehidupan yg tidak kita inginkan. Kita hanya bisa menerimanya.

Pergumulan itu jg dialami Yeremia. Ia tdk pernah memilih mjd nabi. Bahkan sebetulnya ia ingin menolak jabatan itu. Namun kenyataannya ia tak dapat mengelak. Keadaan itu membuatnya merasa tertekan dan terus didera peperangan batin. Sampai2 ia berkata "Terkutuklah hari ketika aku dilahirkan! Biarlah jangan diberkati hari ketika ibuku melahirkan aku!"

Ketika menghadapi situasi demikian,tak ada cara lain yang lebih tepat selain menerimanya dgn rela. Kalaupun kita terus memberontak,tidak akan ada gunanya,hanya melelahkan bahkan menambah masalah baru. Ketika kita tak dapat mengubah keadaan di luar,yg bisa kita lakukan adalah mengubah sikap & pandangan kita terhadap keadaan itu. Kuncinya ada pada keyakinan bahwa hidup kita selalu dalam kendali kasih & kuasa Tuhan. Amin.

(Diambil dr Renungan Harian Selasa,18 November 2008)
*diketik dgn teknik 1jari*

Sunday, November 16, 2008

...dari pohon besar, ngatini, hingga ombak dan buih...

Kemarin Minggu, aku berniat jalan2 menghabiskan hari. Setelah sedikit berpikir akhirnya kuputuskan berjalan ke selatan.

Sebelumnya mampir ke supermarket sekedar beli buah untuk bekal. Dapetlah pear dan jeruk santang sebagai bekal.

Berangkatlah segera dengan persiapan matang. Sehelai mantel jubah, pelindung jika hujan turun, dan bisa juga kugunakan sebagai tikar alasku duduk sambil menikmati ombak yang menderu dan berpasang muda mudi yang menikmati libur di hari minggu.


Di tengah perjalanan ada sebuah pohon besar yang tumbang, tercerabut sampai ke akarnya. Pohon ini cukup besar, bahkan sangat besar. Tapi kalau Tuhan sudah berkehendak, apapun bisa terjadi. Dengan tiupan angin puting beliung, pohon dengan akar yang kuat pun bisa dengan mudah tercabut seperti rumput. Sedikit berefleksi pada diri, ya, Tuhan yang menentukan semua. Apapun jika Tuhan berkehendak, bisa terjadi. Yang tampaknya tertanam dengan pengikat akar yang kuat pun bisa dengan mudah tercabut hanya dengan tiupan angin, begitu pula dengan semua yang ada pada manusia. Apa yang ada padaku, bukan milikku, tapi Tuhanlah yang empunya. Jika Dia berkehendak maka Dia berhak mengambil ataupun menambahkan apa yang ada padaku. Seperti juga saat aku kehilangan Supri, motor yang menemaniku selama hampir 15 bulan. Saat itu aku bisa menerima & ikhlas bahkan menganggap kehilangan itu adalah 'berkat tak terduga', karna pasti ada berkat yang lebih besar di balik kehilangan itu. Benar saja tanpa terpuruk lama2, aku mencari pengganti Supri dan kutemukan Ngatini, motor Vega keluaran Yamaha. Dia yang akhirnya menemaniku ke mana pun aku pergi. Juga kemarin saat aku ingin menghabiskan hari. Ngatini sudah hampir 1 tahun ini menjadi sahabatku. Kurawat dengan rutin & tertib, karnanya Ngatini jarang sakit. Hanya saja kemarin dia mengalami sedikit luka pada ban belakang. Jadilah kudorong dia, untung tidak jauh, dan terjadilah adegan Ngatini Obong. Sambil menunggu proses penyembuhan aku nikmati sedikit bekal yang kubawa. Ah, lumayan juga... Kulanjutkan perjalanan. Pelan, tanpa tarikan gas yang kuat, tanpa dendang dari bibir, tanpa ketergesaan. Pelan & tenang. Sedikit tersadar dari 'ketenangan' saat merasa ada tetesan air di tangan. Woo, hujan rupanya, dan kulihat langit, sepertinya hendak deras. Kuputuskan memanfaatkan mantel jubah yang memang sudah kupersiapkan. Dan perjalanan dilanjutkan dengan nyaman meski dalam hujan. Indah juga ya hujan itu... Sepanjang perjalanan kunikmati dinginnya dan ketukan-ketukan air yang menimpa punggung tanganku.
Sampai di tengah perjalanan hujan berhenti, tapi aku enggan melepas mantelku, jadi aku tetap memakai mantel meski langit terang benderang. Sampailah aku di tempat di mana aku bisa memandang langit sampai pada kakinya, melihat angin mempermainkan air menjadi terombang ambing membentuk ombak dan buih, lalu kembali, hilang, dan datang lagi. Aku berdiri di tepian pantai, menerima ombak yang datang, lalu kembali lagi. Lalu datang lagi, kadang lebih besar kadang hanya buihnya yang sampai padaku. Begitu berulang-ulang tidak pernah berhenti, sampai aku kembali ke tempat aku tidak merasakan lagi ombak dan buih itu. Refleksi lagi pada diri. Hidup mungkin seperti saat aku berdiri di tepi pantai dan masalah seperti halnya ombak yang datang dan pergi, tak pernah berhenti. Tapi saat kuhadapi,  dia pun akan bisa terselesaikan dan kembali ke lautan lepas sana. Lalu akan datang lagi masalah yang lain, mugnkin lebih besar, tapi mungkin juga lebih ringan. Tapi begitu juga, saat kuhadapi, dia akan segera hilang dengan sendirinya. Begitu seterusnya dalam hidup, tidak akan pernah berhenti masalah itu datang dan pergi, sampai saat kita kembali pada tempat di mana kita tidak menemui masalah kehidupan lagi, yaitu kematian.

Di tepi pantai yang tidak terkena ombak aku duduk beralaskan mantel jubah, ditemani seplastik buah. Memandang ke laut & langit, ya Tuhan, Engkau begitu luar biasa, tak terbatas kuasaMu. Aku mulai melupakan semua masalah2ku dan mengagumi ciptaan Tuhan yang begitu sempurna. Bibirku mulai menyanyikan pujian. Meskipun sendiri aku tidak peduli, aku tetap bernyanyi, beberapa lagu kunyanyikan dari lagu pujian sampai lagu penguatan saat aku  sedang dalam pergumulan. Dan...ahh...tak kuduga aku merasakan kelegaan. Waktu sudah beranjak petang dan aku memutuskan pulang. Sudah kularung semua beban, berharap tidak kupikul lagi di hari nanti. Motorku melaju dengan pelan, tapi bibirku penuh dengan nyanyian. Berbeda saat aku berangkat tadi. Ya, aku ingin pulang dengan damai dan bahagia.

Ya...perjalanan sehari kemarin membawa banyak refleksi pada diri. Dari pohon besar yang takluk oleh angin, kehilangan Supri yang menghasilkan Ngatini, juga deru dan ombak yang membawa banyak refleksi pada diri. Kesemuanya menuju pada satu titik: kuasa Tuhan. Tidak ada yang bisa mengalahkan kuasa Tuhan. Jika Tuhan berkehendak maka segalanya bisa terjadi. Manusia seperti sebutir debu yang dikaruniai keikhlasan untuk menerima kehendak Tuhan, namun di mata Tuhan kita sangat berharga dan tidak pernah Dia lalai menjaga kita meskipun kita hanya sebutir debu....

Monday, November 10, 2008

JanjiMu seperti fajar...

Seperti fajar di pagi hari yang selalu terbit tepat pada waktunya, aku mau percaya Tuhan bahwa pertolonganMu bagiku akan selalu sampai tepat pada waktunya. Sekalipun aku belum melihat apapun hari ini, aku mau tetap percaya padaMu, percaya pada janjiMu....

Ketika kuhadapi kehidupan ini,
jalan mana yang harus kupilih.
ku tau 'ku tak mampu
ku tau 'ku tak sanggup
hanya Kau Tuhan tempat jawabanku....

Aku pun tahu 'ku tak pernah sendiri
s'bab Engkau Allah yang menggendongku
tanganMu membelaiku
cintaMu memuaskanku
Kau mengangkatku ke tempat yang tinggi....

JanjiMu seperti fajar pagi hari
yang tiada pernah terlambat bersinar
cintaMu seperti sungai yang mengalir
dan kutahu betapa dalam kasihMu...